Namun
ku tak tahu mana yang benar
Dan
ku pejamkan mata lalu melangkah
Tapi
ku salah jalan
ku
kembali tepat di awal ku berpijak
kucoba
berfikir dan ku renungkan
kupejamkan
mata lalu melangkah
tapi
ku salah lagi
ketika
terik matahari menyambar lapisan atas bis di mana aku berdiri dihadapan
penumpang jurusan Depok – Sukabumi, aku berteriak sekeras mungkin melawan
bisingnya suara klakson pengendara lain yang tidak sabar ingin keluar dari
jejeran mobil yang mengantri untuk terbebas dari kemacetan. Dengan petikan
sederhana dari gitar yang kupegang, lagu ciptaanku terasa sangat ringan saat
didengarkan sehingga beberapa penumpang mengayunkan kepalannya mengikuti
petikan-petikan gitar dan alunan nada yang keluar dari mulutku.
Paras
wajahku yang tidak menarik karena mulai habis dimakan debu jalanan dan
matahari. Namaku adalah Ray, usiaku kini hampir 17 tahun. Aku sangat suka
membaca. selama ini aku selalu menyempatkan diri untuk pergi membeli buku
bekas, karena harganya murah. Bukan karena aku seorang pecandu narkoba, lantas
hidupku seberantakan pecandu-pecandu lainnya. Oh iya, dengan kemampuanku
bernyanyi aku bisa berdiri sampai saat ini. Meskipun dalam darahku ini teraliri
benda terlarang dan dipenuhi rasa cemas dan takut, aku tetap menjalani hidupku.
“Pak
makasih ya.” Ucapku kepada kenek bis dan aku melompat dari bis yang sedang
melambat.
“Lumayan
dapet banyak nih hari ini. Bisa buat makan sampe besok sama bisa buat beli itu
juga. Pusing juga kalo udah lama ga make.” Gumamku.
Lalu
aku berjalan di bawah panasnya sinar matahari dan aku memutuskan berhenti di
warung makan langgananku. Sama seperti biasanya, aku memilih telur dadar dan
tempe orek sebagai lauknya. Ditengah-tengah keasyikanku menyantap makananku,
aku terdiam mengingat betapa bahagianya aku kala itu. Kemudian semua hancur begitu saja hingga pada akhirnya inilah aku
yang sekarang.
Kisah
ini berawal dari hancurnya usaha ayakhu. Sebelumnya aku adalah anak yang aktif
dan bersahabat. Meskipun tidak pernah menempati nomor 1 dalam peringkat kelas,
aku termasuk anak yang mudah menangkap hal-hal baru. Hingga pada suatu hari,
“Bu,
aku kena tipu sama teman.” ucap Ayah.
“Loh
? kena tipu gimana ?” tanya Ibuku.
“Bangkrut
bu, kita jatuh miskin sekarang.”
Setelah
mendengar usaha Ayah berantakan dan terlilit hutang dengan jumlah yang sangat
besar Ibu terkena serangan jantung dan meninggal sebelum Ayah membawanya ke
rumah sakit. Selesai pemakaman Ibu, kami mengemaskan barang-barang dan pindah
ke rumah kecil peninggalan Nenek di Depok. Ayah terlihat murung dan jarang
sekali tersenyum.
Berselang
2 bulan kepergian Ibu, Ayahku depresi dan pada akhirnya gila. Pada awalnya
Ayahku sering melamun dan berbicara sendirian. Semakin hari semakin parah
hingga melempari orang-orang yang melewati depan rumah dengan benda apapun yang
ada di depan matanya. Selama berbulan-bulan dia bertingkah seperti itu. Hidupku
mulai bergantung dari belas kasihan tetanggaku. Secara bergantian mereka
mengirimiku makanan dan uang untuk kebutuhanku sekolah.
Hari ini aku mulai berangkat ke
sekolah setelah hampir satu minggu tidak masuk. Rasa tidak sabar Aku
bersiap-siap mengenakan seragam putih biru, mengikat tali sepatu, dan merapikan
buku-buku kedalam tasku, dengan tatapan polos aku berbicara kepada ayah,
“Yah,
kenapa bisa seperti ini? Apa salah Ayah sampai-sampai kaki Ayah dijepit dengan
dua batang kayu besar dan lihat tangan Ayah, kenapa bisa sampai digelangi
dengan rantai yang besar? Apa Ayah tidak bosan dengan berdiam diri saja di
sini?” Namun yang ku dapat hanyalah tatapan kosong tanpa arti.
Sejenak aku terdiam menatap ke arah
Ayah. Kutahan tetesan air mata didepan ayahku.
“Yah
aku mau berangkat sekolah, uang jajan aku gimana yah? Gimana ayah kasih uangnya
kalau ayah seperti itu?” Lanjutku.
Tetesan air mata yang kutahan di
depan Ayahku tadi, kini mengalir deras seiringan dengan langkah kakiku menuju
sekolah. Anehnya, mereka yang berpapasan denganku hampir semua menatapku najis. Yang lebih parahnya, sahabatku yang
biasanya berangkat bersama hari ini aku tidak melihatnya.
“Di,
ko kamu gak bareng si berangkatnya?” Tanyaku.
“hah?
maaf ya aku gak mau temenan sama kamu lagi.” Balasnya dengan ekspresi jijik
melihatku.
Aku
mulai terpojokkan di kelas. Tidak ada yang ingin mendekatiku bahkan menyapakupun,
tidak. Ketika melihat tulisan-tulisan di papan tulis aku merasa sangat
kebingungan. Aku sudah benar-benar tertinggal pelajaran. Bahkan aku tidak
mengerti apa tulisan dan angka-angka yang tertulis di buku-buku paket usang
ini. Semangat belajarku luntur karena terasingkan di kelas. Sedangkan dua
minggu lagi akan diadakan ujian kenaikan kelas dan yang aku fikirkan saat ini
hanya keadaan ayah dan menangisinya.
“Tok
tok tok.” Terdengar suara ketukan pintu dari depan rumah.
Saat kuberjalan ke arah depan dan
hendak membukakan pintu seketika langkahku terhenti dan berfikir,
“Ah
paling teman-temanku iseng, mereka kan memang selalu mengetuk pintu lalu ketika
pintunya dibuka, mereka tidak ada.” Ucapku dalam hati dan kembali melanjutkan
fokusku ke buku yang sedari tadi aku coba untuk memahaminya.
“Halo
ada orang kah di dalam? Ray kamu di dalam?” Terdengar lagi orang berteriak di
depan yang dibarengi dengan suara ketukan pintu yang mulai mengeras.
Dengan tergesa dan buru-buru aku
berlari dan membukakan pintu karena mendengar orang menyebut namaku saat
mengetuk pintu untuk kedua kalinya.
“Sebentar.”
Pintaku selagi memutar kunci pintu searah jarum jam.
Saat pintu terbuka, aku terheran
melihat orang yang sedang berdiri tegap di hadapanku. Kuperhatikan perlahan
dari atas hingga ke bawah, dari rambut hingga ujung kakinya. Kuingat-ingat
siapa orang ini, tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Mungkin dia ada
hubungannya dengan ayah atau ibu.
“Hey
ngapain bengong, awas kesambet. Haha..” Teriaknya yang mengacaukan lamunanku
“Eh,
aku lagi mikir kak.” Balasku kaget.
“Mikirin
apa si emangnya?” Tanyanya santai.
“Kakak
ini siapa ya? Saudara Ayah bukan, saudara Ibu aku juga bukan deh kayaknya.”
”Mau
difikirin kaya gimana juga kamu gak bakal tau kakak siapa. Orang kakak aja baru
dateng kesini hari ini aja Haha..” Tawanya.
“Jadi, kakak ini siapa dong kalau gitu ?” Tanyaku
penasaran.
Setelah bercerita panjang lebar, ternyata
kakak itu bernama Bily, dia adalah seorang wirausaha sukses di daerah Depok dan
maksud kedatangannya kerumah karena prihatin mendengar kabar dari orang
mengenai apa yang terjadi selama ini padaku. Dia berkata ingin memantau
keseharianku agar tidak melangkah ke jalan yang tidak seharusnya.
“Yaudah,
nanti kalau ada apa-apa hubungi kakak ya, kakak ada urusan lagi nih.” Seraya
memberikan amplop yang agak tebal dan tertulis alamat rumah dan dia beranjak
pergi.
Setelah kak Bily pergi, aku kembali
ke kamar dan tidak lupa mengunci pintu. Ku terawang dan mengira-ngira apaa isi
dari amplop yang dikasih kak Bily.
“Isinya
apa ya kira-kira? Ada bulet-buletannya juga,” Ocehku dengan penuh teka-teki.
Ada
perasaan ingin membukanya tetapi aku tidak memiliki keberanian untuk
menyobeknya. Pada akhirnya amplop itu kuletakkan di atas lemari dan aku
mengambil buku-buku pelajaran untuk persiapan ujian.
Tanpa kusadari, aku tertidur dengan
posisi kepalaku berada di atas buku. Lalu
ketika terbangun aku merasakan sakit di kepala bagian belakang. Kuperhatikan
seisi kamar dan anehnya keadaan kamarku sangat tidak beraturan. Cermin pecah,
buku-buku bertebaran dimana-mana, pakaian berceceran.
“Kok
bisa kamarku tiba-tiba berantakan gini ya? Jangan jangan...” Aku berlari dengan
kencang mengarah ke kamar Ayah.
Sesampainya
di depan pintu kamar, dengan nafas yang tergesa-gesa aku memandangi ayahku
sedang terduduk lemas dengan tangan dan kaki yang masih tidak dapat digerakkan
dengan bebas.
“Lalu
siapa pelakunya kalau bukan ayah? Pintu rumah sudah ku kunci dan setelah ku
periksa pintu depan masih dalam keadaan terkunci.” Aku bertanya-tanya
kebingungan.
Dalam keadaan bingung aku kembali ke
kamarku dan membereskan semuanya. Saat aku membenahi pakaian-pakaianku, aku
melihat amplop terjatuh di bawah lemari dalam keadaan terbuka. Kuambil dan
kuperiksa amplop itu dan terdapat lembaran uang seratus ribu yang cukup tebal
beserta tiga bungkus permen didalamnya.
“Uangnya
banyak banget. Gak salah kakak kemarin kasih aku uang sebanyak ini ?”
“lalu
permen ini? Mengapa kak Bily gak langsung kasih ke aku aja permennya, segala
dibungkus-bungkus gini.” Tanyaku heran.
Kumasukan uang dan permen tadi ke
dalam amplop dan meletakkannya di meja belajar. Kubersihkan serpihan kaca
hingga ke kolong-kolong. Kusapu dan kubuang ke tong sampah depan rumah. Saat
aku ingin kembali ke dalam rumah,
“Tunggu-tunggu,
kayaknya ini mirip bungkus permen yang di amplop tadi deh.” Sambil memegang
bungkus permen berwarna silver.
Dengan
tergesa-gesa aku kembali ke kamar dan mencocokkan bungkus yang kupegang dengan
permen yang kutemukan tadi. Ternyata benar, bungkus yang sama. Kebingungan
melanda dan menghantui isi kepalaku. Perlahan ku buka sisa permen tersebut, ku
perhatikan bentuknya tapi tidak ada yang aneh. Hanya seperti permen biasa yang
mungkin terbuat dari susu. Ku bungkus lagi dan kuletakkan bersamaan permen
lainnya.
Kegiatan merapihkan kamar pun
selesai, bergegaslah aku untuk mandi dan berangkat sekolah. Saat ku berdiri di
depan pintu kelas, semua mata tertuju padaku. Anak orang gila, anak stres, ih ada
anak orang gila, najis, awas-awas jangan ada yang mau duduk disebelahnya,
begitulah teriakan yang langsung terdengar oleh telingaku. Hanya menunduk dan
berjalan dengan rasa takut dan malu. Bahkan temanku yang selalu duduk
bersamaku, kini enggan sekali rasanya. Pada akhirnya aku terduduk tepat di
depan bersebelahan dengan Pak Johar, Guruku. Selama pembelajaran hari itu,
kertas, penghapus bekas dan benda kecil lainnya dilempar mengarah kepadaku dan
kemudian terdengar samar tawa-tawa kepuasan.
“Brakkkk....”
Terdengar bantingan meja yang mengagetkan seisi ruangan.
“Ray,
kamu ini kenapa?” Tanya Pak Johar yang sedang berdiri didepan papan tulis.
“Tau
tuh, ganggu orang belajar aja.”, “Anak orang gila pak awas digigit.” Celetuk
dua temanku yang memuncakkan kekesalaanku.
“Hahahaha.....
orang gila, orang gila, orang gila.” Yang kemudian semua teman mentertawaiku
dan mengejek ku orang gila.
“Diam!!!!!!!!!!!!!!”
Aku berteriak sekeras mungkin dan kemudian mereka semua mematung.
Kuperhatikan mereka satu per satu,
wajah yang meumcat dan menunduk ketakutan. Tanpa sadar air mata melitas di
pipi. Kuhela nafas panjang dan melepaskannya perlahan.
“Ingat
ya aku bukan orang gila. Aku masih waras. Aku gak mau dibilang gila karena aku
bukan orang gila.” Teriakku.
“Terus
kalo bukan gila..”
“Diam
dulu. Aku belum selesai.” Potong ku ketika ada salah seorang teman yang
menyauti ucapanku.
“Tik
tok tik tok.”
Keadaan sangat sunyi, hingga detak
jam dinding yang berada di belakang pun terdengar sangat jelas. Kepalan
tanganku yang mengeras. Kutengok ke arah Pak Johar, dan dia seakan-akan mengizinkanku
berbicara lagi dengan anggukannya. Dan lagi, tangisku semakin menjadi.
“Memang
ayah ku gila. Tapi tolonglah berlaku adil kepadaku, jangan anggap aku ini gila
juga. Aku terus-terusan sabar ke kalian. Lalu kalian semakin membabi buta
menyerangku. Salahku apa? Apa aku pernah menyakiti kalian? Tidak kan ?”
Seseorang yang merupakan temanku
datang menghampiri dan memelukku.
“Maafin
aku ya Ray, aku jahat sama kamu.” Ucapnya.
“Haha,
dasar orang gila.” Celetuk seseorang yang terdengar dari meja nomor tiga.
“Aku
benci kalian !!!” Teriakku.
Seraya air mata berderai, ku rapihkan buku,
menggemblokkan tas ke bahuku dan berlari ke luar kelas. Tanpa peduli aku
berjalan pulang sambil menangis kencang.
“sampai
kapanpun aku tidak ingin pergi sekolah, aku tidak mau selalu di olok-olok oleh
teman-teman”
Di sisi lain, seisi kelas riuh
saling menyalahkan satu sama lain.
“Sudah
diam, bagi yang merasa bersalah sepulang sekolah mari kita bersama-sama meminta
maaf dan merangkulnya, kasihan loh dia.” Teriak guru yang mencoba menenangkan
keadaan.
Lalu sesampainya aku dirumah,
kuhampiri ayah dan memeluknya. Saat aku menceritakan kejadian tadi, ayah
terlihat sangat kesal yang tegambar dari raut wajahnya yang mengerutkan dahinya.
Nafasnya mulai tidak teratur, wajahnya memerah.
“Ayah
jangan nangis, Ray gak kenapa kenapa kok. Ray kan jagoan ayah”
Mungkin
ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tetapi dia hanya menangis dan
memandangiku. Mungkin juga dia ingin sekali memeluk dan menghapuskan air mataku
saat aku menangis tadi, tapi bagaimana bisa dia melakukannya kalau kedua tangannya
terikat dengan besi yang sudah mulai berkarat. Hatiku teriris melihatnya, air
mata ini mengalir hingga tanpa sadar aku tertidur memeluknya.
Hati
dan perasaanku menjadi tenang ketika memeluknya. Meski harumnya sudah tidak se
enak dulu, hangat tubuhnya memberikan perasaan gembira dan kenyamanan yang
sangat besar.
Perasaan
itu perlahan menghilang, samar-samar aku mendengar suara teman-temanku memanggil
namaku berkali-kali. Aku terbangun dan badan ayah mulai membiru dan sudah
dingin.
“Ayah,
Ayah kenapa, bangun yah bangun.” teriakku kencang.
Di luar rumahku, mereka panik dan
memaksa untuk membuka pintu rumahku hingga akhirnya pintu rumahku terbuka. Mereka
masuk dan melihatku menangis memeluk ayahku.
“Innalilahi
wainnalilahi roji’un, Ayahmu meninggal ray.” ucapnya.
Mendengar
ucapan pak Johar jantung ku terasa berhenti berdetak saat itu juga, sekujur
tubuhku seketika melemas dan tulang-tulangku terasa tidak sanggup menopang
tubuh ini dan aku pingsan.
Ketika
aku terbangun seketika rumah sudah dipenuhi orang-orang berpakaian tertutup.
Alunan ayat-ayat suci terdengar riuh. Aku hanya terdiam menatapi jasat ayah
yang sedang tertidur ditengah-tengah tamu. Tanpa kusadari, aku kembali menangis
dan terjatuh tak sadarkan diri.
Setelah
cukup lama tak sadarkan diri, aku terbangun dalam keadaan rumah yang sudah
sepi. Hanya ada dua orang yang duduk di kursi yang sengaja diletakkan di depan
rumah. Kuberjalan ke arah dapur dan menuangkan air kedalam gelas lalu
meminumnya. Pada tegukan ke dua, tanganku terasa sangat lemah, semakin lemah
dan gelas yang kupegang terjatuh ke lantai.
“Ray,
bangun Ray.” tercium bau minyak angin dan mulai terasa panas di hidungku.
“Ray
kamu kenapa ?” lagi, terasa ada orang mengusap-usap kepalaku.
Aku tersadar dan aku tidak mengerti
apa yang harus aku ucapkan. Aku hanya bisa terdiam. Betapa tidak, Ayah dan Ibuku sudah pergi meninggalkanku.aku mencemaskan
kehidupanku setelah ini karena di sini aku sebatang kara. Setelah kepergian
ayah, aku memutuskan untuk berhenti sekolah.
30
hari sudah terlewati. Aku yang hanya berdian diri, menikmati belas kasihan dari
mereka yang iba melihatku. Mereka adalah tetangga-teatanggaku yang secara
bergantian memberiku makan pagi dan sore. Akupun bingung mengapa mereka sebaik
ini kepadaku sedangkan, aku terbilang orang baru di daerah sini. Sontak aku
teringat dengan amplop yang masih kusimpan di atas lemari. Semenjak kepergian
Ayah, aku belum menyentuhnya sama sekali.
“Ini
bu.” ucapku sambil menyodorkan satu lembar uang dari amplop tadi yang kuambil.
“Eh
apa ini, sudah kamu simpan saja” balasnya.
“Aku
gak mau makan pemberian ibu kalau ibu tidak menerima pemberianku.” ancamku.
“Yaudah
ibu terima, besok kamu mau makan apa ? biar Ibu beli pakai uang ini.” tanya si
Ibu.
“Terserah
ibu saja hehe.” senyumku.
Setelah
dia pergi, aku memakan dan menghabiskan makanan
yang ia bawa. Lalu timbul perasaan ingin mencoba permen yang kusimpan.
Bergegaslah aku ke kamar dan mengambil satu bungkus permen. Namun setelah
beberapa saat aku seperti berada di pantai yang sangat ramai. Disana aku
berlari-lari dan bermain pasir, ku buat bola-bola pasir lalu kulemparkan ke
arah laut. Matahari mulai tenggelam dan aku tertidur di pinggir pantai.
Dan
lagi, saat ku terbangun keadaan kamar kembali berantakan. Dengan keadaan kepala
yang sedikit pusing aku membereskannya kembali. Dalam keadaan sedang memegang
amplop, ku ambil 3 lembar uang di dalamnya dan menyimpan sisa uang ke dalam
lemari dan beranjak menuju alamat yang tertera.
“Kak,
tahu alamat ini gak ?” tanyaku ke anak
tetangga yang sedang berlibur kuliah.
Yang
kemudian dia menjelaskan alamat yang tertulis di amplop yang kupegang. Dia mengatakan bahwa dari sini aku
harus naik bis jurusan depok-sukabumi dan berhenti di depan pasar Cibinong dan
dari situ aku hanya butuh berjalan kaki untuk menuju alamat kakak itu.
Aku
berjalan cukup jauh dari rumahku ke jalan raya. Namun, hal buruk menimpaku.
“Haduh,
gimana ya. Uang untuk ke Cibinong aku taruh kantong dan uangnya jatuh, aku lupa
kalau kantongnya bolong.” ucapku.
Selang
beberapa menit, bis yang ingin kutaiki terlihat dari kejauhan. Dengan nekat aku
berhentikan dan duduk di depan samping sopir. Saat kenek bis hendak datang
menghampiriku, aku berdiri dan berjalan ke tengah-tengah bis. Aku menunduk dan
terdiam.
“Selamat
sore para penumpang, maaf mengganggu waktunya, di sini saya akan menyanyikan
sebuah lagu yang saya buat sendiri, semoga kalian menikmatinya.” begitulah
bunyi kalimat yang kulontarkan dengan berteriak.
Ku
berdiri terdiam di jalan setapak
Melamuni
saat mereka datang dan memelukku
Air
mata mengalir dan semakin banyak
Tapi
ku harus tersenyum dalam tangis ku
Dengan bantuan tepukan tangan, tidak
terasa air mata ku mengikuti lantunanku. Begitu sulitnya untukku telihat tegar.
Dengan tertunduk aku menyodorkan topi yang kupakai kepada mereka.
“Pak
nanti turunin aku di pasar Cibinong ya pak, ini ongkosnya.” dan aku menyodorkan
uang lima ribu ke bapak kenek tersebut.
“Uangnya
dipegang aja dek. Gapapa kok.” balasnya.
“jJngan
pak, ini ambil.” paksa ku.
“Sudah
dek, ambil saja. Sebentar lagi sampe Cibinong nih.”
“Yaudah
deh pak, makasih ya.”
Setelah
turun dari bis, aku Bertanya pada kakek tua yang sedang berjalan kaki. Kebetulan kakek mengenali alamat yang kutanya
dan memberikan arahan menuju alamatnya. Tiga puluh menit berjalan, akhirnya aku
menemukan alamatnya.
“Tok
tok tok.” Ku coba untuk mengetuk pintunya.
Dengan
sabar aku menunggu dan sesekali mengetukkan pintu kembali. Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya dia datang.
“Eh
Ray, ada apa kerumah ?”
“Aku
mau nanya kak.” balasku.
“Nanya
apa ?”
“Itu
permen apa ya ? rasanya enak sih. Tapi agak sedikit pusing setelahnya, dan
tanpa sadar aku ngacak-ngacak rumah hehe..”
“Serius
? gimana bisa ? tapi perasaanmu agak tenang kan jadinya ?” tanya nya.
“Iya
memang sedikit membuat aku tenang kak. tapi itu apa ? aku mau tau kak”
“Itu
tuh, kaka campurin sedikit obat penenang tapi obat penenang yang kakak pake udah
masuk dalam jenis narkoba,tapi gapapa lah. Kalo sedikit emang suka gitu. Tapi
kalo banyak beda lagi, lebih enak.”
“Masa
si ?” tanyaku polos.
“Iya,
mau coba ? kebetulan banget nih kakak masih ada sisa.” tawarnya.
Kemudian, dia mengajakku masuk ke
dalam kontrakan. Sekilas terlihat sangat rapi dan bersih. Kakak itu pun
terlihat sedang sibuk mencari obat yang ingin diberikan padaku. Kulihat dia
membawa benda seperti kertas berukuran sebesar prangko.
“Nah,
ini. Kamu coba deh sekarang.”
“Kok
kaya kertas gitu si kak, caranya gimana ?”
“Tempelin
aja ke lidah nanti juga ilang sendiri” balasnya.
Ku tempelkan di jari telunjuk,
kuperhatikan tidak ada yang aneh dengan potongan kecil berbentuk persegi yang
berwarna hijau ini. Kudekatkan ke mulutku dan kuletakkan di lidah. Dalam
hitungan detik benda itu telah hilang. Tidak ada apapun yang kurasakan pada
awalnya namun, lama kelamaan tubuhku terasa sangat ringan dan seluruh isi
kepala seakan keluar satu per satu yang menenangkan fikiran. Di kursi yang
dipenuhi bulu Kucing aku tergeletak dan menikmati reaksinya.
Terdengar suara ayam berkokok, aku
terbangun dan melihat kak Bily masih tertidur pulas disebelahku. Beberapa kali
aku membangunkannya tapi dia tidak juga membuka matanya. Aku berjalan ke dapur
dan menuangkan air ke dalam gelas yang sebelumnya ku ambil. Setelah itu aku
kembali, kulihat pulpen dan selembar kertas yang sudah lecek.
“kak,
aku buru-buru, kakak aku bangunin gak bangun-bangun. Makasih ya, nanti aku
datang lagi”
Tulisku
dan kuselipkan kertas ke kepalan tangan kak Billy dan aku beranjak pergi. Setelah
itu, di sinilah awal mula persahabatanku dengan narkoba. dan hingga sekarang
aku masih menggunakannya.
Dengan
tangan yang menopang kepalaku di atas meja warteg Ibu Nani.
“Woy
ngelamunin apaan lu ?” teriak bu Nani si pemilik warung.
“Eh..
enggak bu ga ngelamunin apa-apa. Capek aja aku bu seharian konser.” balasku.
“Ye
konser, kaya yang bagus aja suara lu tong.” celetuknya.
“Kalo
aku nyanyi, warung ini bisa rame loh bu. Percaya gak ?” aku menantangnya.
“Ah
ga percaya gua, mana mungkin. Gua kasih gratis dah kalo bisa rame.” balasnya.
“Ok”
jawabku menerima tantangannya.
Kemudian aku berdiri di atas bangku
warung Bu Nani dan bernyanyi. Aku menepukkan tanganku dan seketika ada banyak
orang dihadapanku. Aku bernyanyi, dan mereka semua menikmati petikan gitar dan
suaraku. Perasaanku sangat senang karena banyak yang menyaksikanku. Tapi
kemudian..
“Woy,
makan tuh nasi lu, dilalerin entar” Teriak Bu Nani.
“Ah
Ibu ganggu aja si. Orang lagi asik juga” balasku.
“Lah
kenapa lu, haha gak jelas banget tau-tau ngomel”
“Hehe.
Gak kenapa kenapa bu” jawabku sambil menghabiskan nasi di piringku.
Setelah kuhabiskan makananku dan
membayarnya, aku pergi. Aku berjalan pulang sambil melihah kendaraan berlalu
lalang yang menerbangkan butiran debu di jalan dan menempel di kulit wajah ku
yang semakin kusam. Sesekali kuperiksa uang di kantong celanaku.
“Kak
ada barangnya gak sekarang ? udah lama nih gak make.” tanyaku.
“Baru
dapet nih, mana sini duitnya.”
“Nih
kak.” balasku sambil menyodorkan beberapa lembar uang pecahan dua puluh ribu.
“Yaudah
oke. Kalo mau lagi dateng aja ke rumah ya. Tapi jangan siang-siang, malem aja
soalnya kakak kerja.”
“Oke
kak.”
Kukantongi barang yang kubeli dan
kembali pulang. Di jalan tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh dua orang Polisi
yang memanggilku dari sebrang jalan.
“Hey,
kemari kamu.” teriaknya.
Karena panik, aku berlari secepat
mungkin dan menjauh dari dari mereka. Setelah terasa cukup aman aku berhenti
dan beristirahat di bawah pohon pinggir jalan.
“Itu
dia anaknya.” terdengar suara orang berteriak.
Kutengok dan ternyata mereka masih
mengejarku. Belum sempat berlari, mereka sudah meraih tanganku dan aku tidak
dapat berbuat apa-apa.
“Kamu
kenapa lari ?”
“Aku
takut pak.”
“Takut
apa ? kita ini tidak berniat jahat kok sama kamu.”
“Tolong
pak jangan tangkap saya.” balasku memelas.
“Haha...”
mereka tertawa keras.
“Loh
kenapa ketawa pak ?”
“Sebenernya
kita mau kasih adek uang, pas di panggil kamu malah lari ngibrit”
“Oh,
hehe.. maaf pak, saking takutnya aku jadi lari deh.”
“Loh
takut apa ? emangnya kamu mencuri ? atau menggunakan narkoba ?” tanyanya.
“Enggak
sih pak.” balasku gugup.
“Semoga
aja dia gak meriksa meriksa celana aku, soalnya bahaya kalo sampai diperiksa”
ucapku dalam hati.
“Yaudah,
nih bapak kasih sedikit uang buat kamu makan, inget buat makan ya jangan dipake
buat yang lain.” ucapnya.
“Wah
banyak banget pak, makasih ya.” balasku sambil mencium tangan mereka satu per
satu. Mereka pergi dan aku menarik nafasku dalam dan mengeluarkannya.
“Ternyata
mereka cuma mau kasih uang saja, lumayan deh.” terusku berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung
membersihkan tubuhku yang bau dan kotor. Kusiram air dari kepala ku tapi, air
yang mengalir terasa tidak menginginkanku. Sejenak kuberhenti dan memikirkan
diriku. Betapa bodohnya aku telah bersahabat dengan barang terlarang itu.
Kumerenung dan mulai menyesali perbuatanku selama ini.
Setelah itu, aku kembali ke kamar. Kulihat
wajahku yang terpantul di cermin yang tertempel di dinding kamarku yang cat nya
mulai mengelupas. Kudekatkan, semakin kudekatkan dan kutatap wajahku cukup
lama. Terlihat kulit yang kusam, kantung mata terlihat jelas, pipi yang sangat
tirus dan mata yang memerah. Kusisir rambutku kebelakang, kuperhatikan lagi
wajahku. Terlihat seperti orang bodoh yang dipenuhi dengan penyakit. Manusia
dalam cermin itu tidak layak untuk hidup, tidak sharusnya dia berada di dunia
ini.
Sebelum tidur, kujauhkan barang yang
kubawa dengan membuangnya ke tempat sampah di depan rumahku. Kutidurkan tubuhku
ke kasur yang mulai rusak dan memejamkan mata. Dalam keadaan mata tertutup,
fikiranku masih melayang kemana-mana. Hingga pada akhirnya pada pukul 4 subuh
aku terlelap.
Di pagi hari, aku merasa pusing dan
hatiku kacau balau. Tiba-tiba saja aku teringat ketika pagi hari Ibu membangunkanku
dan Ayah memarahinya karena membangunkanku. Teringat jelas ucapannya.
“Ray,
ayo bangun udah pagi nih.”
“Sebentar
lagi bu, masih ngantuk nih.” rengekku
“Sudah
bu biarin aja, lagipula kan sekarang hari minggu, sekolah libur juga kan.”
tegasnya dan terasa usapan tangannya di kepalaku. Terasa lembut dan melelapkan
dan sekarang aku hanya bisa menangisinya di sini.
Kugantungkan baju dan celana yang
kemarik kupakai. Ketika merapihkannya, sisa uang pemberian Polisi kemarin
terjatuh. Kuambil dan kubawa uang itu ke pasar dan membelikan bunga. Setelah
membeli bunga, aku berjalan ke makan Ayah dan Ibu. Aku duduk diantara mereka.
kupanjatkan doa untuk mereka dan ketika doa itu terucap dari bibirku, aku
merasa ada dua orang yang merangkulku. Sedikit berat tapi terasa sangat nyaman.
Seperti pelukan yang pernah mereka berikan padaku ketika ada.
Seusai berdoa, kubersihkan makam
mereka dari rumput-rumput yang menutupinya. Kutancapkan batang pohon kamboja
yang kuambil saat berjalan tadi. kutaburkan bunga ke makan ayah dan ibuku.
Ke esokan harinya,
Menatap barang yang kemarin kutukar
dengan uang. Ingin sekali rasanya untuk membuang, tapi hatiku selalu berkata “Jangan.”.
Dengan penuh menyesal, kuletakkan di atas lidah dan membiarkannya menyatu
dengan ludah. Detik demi detik ia mulai mengecil dan tibat-tiba aku tersadar
dan melepehkannya ke lantai.
Namun
selang beberapa jam, aku mulai tidak terkendali dan meracau. Terlihat samar
barang yang ku lepehkan tadi tergeletak di lantai. Kujilat dan kulumat habis
hingga butiran-butiran debu yang terasa agak keras ikut masuk kedalamnya. Sejak
itu, aku tidak mengingat apa-apa lagi.
Saat
itu keadaanku sedang telentang, samar-samar aku merasakan tubuhku. Tetapi
tangan dan kakiku tidak dapat digerakkan. Mulut dan mataku seakan terkunci
rapat. Yang kudengar hanyalah tiupan angin dan bunyi suara-suara serangga yang
menghuni rumah yang mulai tidak terurus ini. Kucoba berteriak, tetapi tetap
tidak bisa.
Aku
menangis, dan aku merasakan tetesan hangat yang mengalir dan berhenti di
telingaku. Aku memohon kepada tuhan agar dapat mengembalikan keadaan seperti
semula, namun seperti tidak ada hasilnya. Seluruh tubuhku tetap tidak dapat
digerakkan. Hingga pada akhirnya, aku mendengar suara ditelingaku.
“Ray,
kamu akan mati !” ucapnya.
“Tunggu
sampai besok, kau akan kukeluarkan dari ragamu yang dialiri dengan darah haram
itu.” lanjutnya.
Air mataku mengalir semakin banyak.
Ketakutanku akan kematian membuatku semakin berusaha untuk menggerakkan
tubuhku. Akan tetapi, semakin digerakkan terasa semakin beratdan semakin berat
saja. Sebisa mungkin kucoba untuk menenangkan diri dan berharap bisa kembali
menggerakan seluruh tubuhku. Perlahan ku coba kembali, namun masih sama saja
seperti sebelumnya.
“Apa
yang kamu lakukan itu percuma ray, sekarnag sudah ba’da isya, waktuku untung
mengeluarkanmu hanya beberapa jam lagi.” bisiknya.
Aku semakin merasa ketakutan.
Keringat dingin yang mengucur bercampur dengan air mata. Perlahak kubuka mata,
dan kedua mataku dapat dengan mudahnya terbuka. Kugerakkan tangan dan kaki dan semuanya
bisa kulakukan tanpa mengeluarkan tenaga yang besar. Aku berjalan ke arah depan
rumah dengan senyuman yang menghiasi wajahku.
“Mana
yang bilang kalau aku akan mati ? ngomong sini di depan aku.” tantangku
berteriak.
“berani-beraninya
nakut nakutin aku” terusku.
Tidak lama aku berbicara, tiba-tiba
muncul seorang dengan jubah hitam dan menunduk. Aku kaget bukan main melihatnya
yang tiba-tiba muncul.
“Yakin
kamu belum mati ?”
“Ka..kamu
siapa ?” tanyaku.
“Lihatlah
betapa bodohnya dirimu, apa ada yang bisa melihatmu ?”
“Ini
sudah larut malam, mana mungkin ada orang lewat di sini.”
“Cobalah
kau kembali ke tempat tadi kau terbangun.” perintahnya.
“Lalu
lihatlah apayang sebenarnya terjadi.” lanjutnya.
“Untuk
apa aku kesana.” balasku.
“Cepatlah
sana, baru kau akan tahu mengapa aku memerintahkanmu kesana.”
Dengan berat aku melangkahkan kakiku
kembali ke tempat aku tertidur. Rasa penasaran dan keragu-raguanpun muncul,
kuhentikan langkahku dan bertanya pada orang tersebut.
“Kamu
ini siapa ?” tanyaku.
Lama kumenunggu jawabannya, dan dia
tidak menjawab pertanyaanku itu. Ssaat ku nengok ke arahnya, ternyata dia sudah
hilang. Dengan cepat aku berlari ke tempatku tertidur sebelumnya. Setelah
sampai, aku tidak melihat apa-apa. Keadaan rumah terlihat normal dan sepi
seperti biasanya.
“Hey
orang aneh, pergi kemana kau ? apa maksudmu mempermainkanku ?” teriakku.
“Aku
tidak mempermainkanmu.” dia muncul dan berbicara tepat dibelakangku.
“Lalu
apa maksud semua ini ?” aku membalikkan arah dan dia sudah tidak terlihat lagi.
“Apa
kamu benar-benar tidak melihat apapun ditempatmu tertidur tadi ?” balasnya.
“Dimaana
kamu, tunjukkan dirimu dan apa maksudmu atas semua ini ?”
“Aw..
siapa kau.” tiba-tiba terasa seperti ada yang mencekikku dari belakang.
Jari yang terasa dileherku sangat
menakitkan. Kedua tanganku terikat
kebelakang dengan sendirinya. Tubuhku terasa didorong mendekati tempatku
tadi. Didekatkannya kepalaku ke lantai.
“Perhatikan
ada apa disitu.” bisiknya.
“Iya.”
aku menganggukkan kepalaku.
“Apa
yang kau lihat disitu ?”
Setelah kuperhatikan, hanya ada
garis kapur yang terlihat samar dengan lantai kamarku.
“Hanya
garis kapur ?” tanyaku.
“Coba
kau perhatikan kemana garis itu tertuju dan apa bentuk yang terpola disana.”
Kuikuti garisnya yang berkelok dan
kemana dia pergi.
“Apa
ini maksudnya ?”
“Garis
itu membentuk lekuk tubuhmu ketika kau pingsan tadi.” balasnya.
“Lalu
?” tanyaku.
“Polisi
telah menemukan jenazahmu dan kau ini sudah mati.”
Terasa sangat lemas mendengar
kata-kata dari orang itu. Seakan-akan hidupku akan berakhir saat ini juga.
Hidupku sudah berakhir karena aku sudah mati. Aku mencari tubuhku dan
mendekatkannya. Terkihat bibir yang membiru dan seluruh tubuhku pucat kebiruan.
Aku terdiam disamping tubuhku. Ku coba menidurkan diriku diatas tubuhku yang
membeku, tapi semua itu percuma.
Terdengar suara hentakan kaki yang
mendekati ruangan dimana tubuhku berada. Terlihat seseorang yang mengenakan jas
putih membuka pintu dan masuk. Dia membawa tubuhku keluar dan aku mengikutinya.
Dia berhenti di satu ruangan dan membuka kunci pintu. Setelah masuk, aku
terdiam didepan pintu karena membaca ada tulisan ”Ruang Autopsi” di atas pintu.
“Apa
yang akan mereka lakukan pada tubuhku ?” tanyaku dalam hati.
Penuh rasa penasaran aku memasuki
ruangan tersebut. Sesampainya aku, terlihat Dokter itu berbicara dengan
asistennya.
“Mati
kenapa ni orang ?” tanya asistennya yang sedang berdiri disamping meja yang
berisi pisau dab gergaji mesin.
“Gak
tahu, katanya si ngobat, kita disuruh autopsi ni mayat.” balas orang yang
membawa tubuhku.
“Apa itu autopsi ?” hatiku bertanya-tanya.
“Ron,
persiapkan gergajinya. Kita buka dulu kepalanya, setelah itu baru daerah
perutnya kita buka.” teriak salah satu dokter.
“Siap
pak, ini gergajinya.” balasnya.
Terlihat dia menarik-narik tali di
gergaji yang dipegangnya. Lalu, gergaji itu berteriak sangat kencang. Diarahkannya
perlahan ke kepalaku. Ketika gergaji hendak menyentuh keningku, tiba-tiba saja
mesin gergaji terhenti.
“Loh
kok mati.” gerutu si dokter.
“Ron,
ini gimana gergaji mesinnya mati.” lanjutnya.
“Kok
bisa mati pak ?”
“Ye
mana saya tahu, coba ambilkan cadangannya di gudang.” balasnya.
Aku terpaku melihat tubuhku itu yang
akan dibongkar satu per satu. Kucoba menahannya dan menghentikannya namun,
seakan dia tidak memperdulikanku. Terdengar suara orang berlari dari luar ruangan.
Dan dia datang membawa gergaji mesinnya.
“Nih
pak gergajinya” ucapnya dengan ngos-ngosan.
“Ngapain
lari-lari si, kita kan gak buru-buru juga. Santai aja.” balas si dokter kepada
asistennya.
Lalu, dokter itu menyalakan gergajinya kembali
dan membongkar kepala, mengambil otakku dan memeriksanya. Setelah itu dia
mengasah pisau yang cukup besar dan mengiris bagian terluar kulit perutku,
membelek perut dan memotong-motong organ-organ tubuhku. Setelah dipotong mereka
memasukkannya dengan asal dan menjahit perutku yang terbuka lebar hingga rapat.
Aku hanya terdiam ketika dokter itu membelah kepalaku dengan paksa dan membelek
perutku lalu memotong-motong organ tubuhku. Mereka pergi dan menggeletakkan
tubuhku begitu saja.
Tidak ada lagi penysalan yang harus kusesali.
Semua telah berakhir dan aku harus pergi karena aku sudah tidak ada hak untuk
menempati tubuh itu lagi. Dan kupejamkan mataku beberapa saat dan mencoba untuk
ikhlas menerimanya.
Tapi tiba-tiba saja datang sesosok
wanita yang kurindukan, Ibu. Mungkin dia datang untuk menjemputku. Ditariknya
tanganku dan tidak tahu mengapa dia melemparku. Ibu menghampiriku yang
tergeletak lemas dan memandangku dengan wajah sedih, tapi sekejam wajahnya
menjadi seram dan terlihat marah. Kulihat tangan kanan yang mengarah ke atas
seperti ingin menamparku.
“plakkkkk”
terasa sakit dan ketika kubuka mataku, aku berada di rumahku dan ternyata aku
hanya bermimpi.
lanjutin atau gak usah? comment bellow
Tidak ada komentar:
Posting Komentar