Kedalaman tanah di lahan
gambut bisa mencapai 10 meter. Dari dasar tanah di lahan gambut hingga
permukaan, seluruhnya terdapat senyawa karbon. Dikarenakan hutan gambut dapat
menyimpan karbon dalam jumlah yang besar.
Pada
kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang
menyerupai spons, yaitu menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada
musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun,
apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai terganggu dengan adanya
konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan
terganggu dan lemungkinan besar lahan gambut akan mudah terbakar.
Pada musim
kemarau, lahan gambut sangat mudah terbakar hingga pada kedalaman tertentu
lahan gambut akan sangat kering. Sisa-sisa tumbuhan di dasar akan menjadi bahan
bakar yang dapat memicu kebakaran. Biasanya kebakaran ini sangat sulit
dideteksi karena titik awal api dimulai dari bagian terbawah tanah gambut yang
kemudian menjalar ke permukaan dan akan sulit untuk memadamkannya. Untuk
memadamkan kebakaran pada lahan gambut, biasanya akan memakan waktu
berbulan-bulan atau harus menunggu sampai turun hujan dengan intensitas yang
sangat tinggi.
Menariknya lagi, ada temuan
baru yang dapat menyebabkan kerusakan tanah gambut yaitu, tanaman kelapa sawit.
Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan jika terdapat lahan kelapa sawit yang
dibangun di lahan gambut sehingga tidak hanya mengurangi lahan gambut namun
juga menambah emisi dari gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Penggunaan lahan gambut yang terus menerus, tidak hanya merusak tanah namun
juga mengancam ekosistem dan juga bencana ekologis.Pada akhir tahun 2015,
terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang pada saat itu, 120 ribu orang
terkena penyakit pernapasan, akses pendidikan dan transportasi terganggu,
keanekaragaman hayati punah, emisi gas rumah kaca meningkat, dan kerugian
finansial mencapai 220 triliun rupiah. tercatat lebih dari separuh luas area
yang terbakar adalah lahan gambut. Secara teoretis, gambut berperan penting
dalam menyerap 75% karbon di dunia sehingga tidak boleh dibakar, dikeringkan,
atau dijadikan lahan perkebunan. Ekosistem gambut juga merupakan sumber
penghidupan bagi masyarakat lokal. Emisi gas rumah kaca dari karhutla berdampak
pada perubahan iklim yang dapat menghambat pembangunan, memperparah kemiskinan,
serta menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan keamanan. Salah satu hal yang
bisa kita lakukan adalah dengan menjaga dan merestorasi lahan gambut.
restorasi gambut adalah
proses panjang untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut; sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari menyusutnya
lahan gambut. Salah satu upaya untuk merestorasi lahan-lahan gambut yang sudah
rusak adalah dengan menanam kembali atau revegetasi yang sebelum penanaman
dilakukan pemetaan dan proses pembasahan lahan jika gambut dalam keadaan
kering. Salah satunya tanaman yang dapat membantu perestorasian gambut adalah
tanaman sagu, karena tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada habitat yang tergenang air, maupun
pada lahan kering sehingga akan cocok
ditanam pada lahan gambut. Selain itu, masyarakat lokal pun bisa mendapatkan manfaat
dari upaya restorasi ini. batang
dari tanaman sagu memiliki produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan pati
sagu dan dapat menghasilkan biomassa setelah tutupan kanopi terbentuk. sehingga
Dengan menanam tanaman sagu pada lahan gambut,
dapat dilakukan karena dapat membantu perestorasian lahan gambut dan memiliki
nilai ekonomis bagi masyarakat lokal.
Punya cerita atau opini tentang gambut? Ayo tuangkan dalam tulisan dan share di media sosialmu bersama pantau gambut menggunakan hashtag #pantaugambut
sangat menarik nih, ditunggu kunjungan baliknya ya agusdaud.id
BalasHapussaya dipaksa komen mas
BalasHapusartikel nya menarik mas
BalasHapus